Nuansa Deanabila's

I've noticed that a lot of foreigners come to Joyland, so I'm going to give some tips in this post.

For those who are not familiar, Joyland is an annual 3-day music festival held in Jakarta & Bali. Not only music, but attendees can also enjoy various activities like workshops and craft-making. Since this is a family festival, children under 12 are free to enter. 

I have gone to both in Jakarta and Bali. But now, I'm just going to explain the one in Jakarta.    

Ticket

To buy, go to https://joylandfest.com/ and click the "get tickets" option. They usually sell the tickets months before. I bought it in April, while the festival is in November. There are 3 pre-sales, I got the second pre-sale which cost IDR 830.600 or around USD 52, normal price is around USD 90. 

Venue

The venue is at Gelora Bung Karno (GBK) Baseball Stadium which is located in Central Jakarta so the way to get there is fairly easy. 

Transportation

There are plenty of options for going to the venue, you can always take a taxi of course but there are other cheaper ones:

1. Commuter Line / KRL: This might be the hardest way since there are a lot of stations and it might be confusing, but if you're willing to go for a little bit of adventure then this is perfect. Get off at the Palmerah Station / Stasiun Palmerah. I usually take online motorbike transportation afterward. You need a card for this which can be purchased at the station or a pre-paid card available at minimarkets such as Indomaret or Alfamart. 
2. MRT: Get off at the Senayan Station / Stasiun Senayan and you can walk to Gate 2 / Gerbang 2. The walk will take about 15 minutes. MRT is slightly more expensive than Commuter Line.
3. Online motorbike transportation: If you are close to the venue, you can take Grab Bike, GoJek, Maxim, etc. Often Maxim is cheaper than the former two mentioned, but you have to pay with cash. This is also the perfect transport because the way to the venue has a pretty severe traffic jam.

Accommodation

As I said earlier, the venue is located in the heart of Jakarta so hotels are very easy to find. The closest one is Fairmont (around USD 230). But you can always find cheaper ones around it via Red Doorz, Ticket.com, Traveloka, or your preferred travel apps. I have never stayed in Senayan area so I don't have any personal recommendations, sorry! 

General knowledge

This is a family-friendly music festival, so there are certain rules that the attendees must obey.

• Smoking and drinking in general areas are PROHIBITED. There are designated spaces for those who want to smoke and drink. Yes, vaping is included. 
• Free water if you bring a water bottle. Please do bring them. I saw people use their hands to drink from the water station, it's just gross and uncivilized. 
• Since the festival is held in November which is a rainy season, bring small umbrella, raincoat, and shoe protector. Better yet, wear sandals. I learned that the hard way.
• You can also bring a picnic mat and a foldable chair.
• To buy food and drinks the tenants use QRIS or cash.

I think that's about it. You can always contact me if you have inquiries or drop a comment below!  

Sepertinya gue belum pernah menceritakan trip kalau gue ke Jogjakarta di blog ini (well, sebenernya yang bener tuh Yogyakarta, tapi kita sebut saja Jogja karena seumur hidup selalu ngomongnya ini).  

Back story sedikit, tadinya gue mau nonton Wildground Fest karena rumornya ada All Time Low. Cuma karena satu dan lain hal gue akhirnya nggak jadi dan malah nemenin nyokap yang mau ikut acara keluarga di Solo. Gue sendiri nggak ikut ke Solo (walaupun mau ke Lokananta sebenernya cuma nggak enak masa gue numpang ngikut terus kabur sendirian) dan berencana untuk seharian itu kelayapan aja di Jogja. 

Gue udah bikin itinerary ke 3 tempat: Sate Ratu (yang wajib gue datengin setiap ke Jogja), Artlinx Store (nemu toko gemes ini di TikTok), dan Malioboro. Semuanya berhasil gue datengin Alhamdulillah cuma ada aja ceritanya mah.

Gue berangkat menggunakan bus yang pool-nya itu deket dari rumah, sekitar 15 menitan. Sejujurnya gue nggak suka naik bus kalau pergi-pergi, padahal sebenernya naik bus itu jauh lebih nyaman sih, cuma nggak suka vibe-nya entah kenapa. Gue sendiri nggak pernah juga sih naik bus ke Jogja, lebih suka naik mobil atau kereta. Tapi karena berdua sama nyokap ya hayok aja, setelah mencoba ternyata tetep nggak suka wkwkwk. Perjalanan lancar jaya, berangkat jam 4 sore nyampe Jogja sekitar jam 3 pagi esok harinya. Nyokap gue tanpa ba bi bu langsung bebersih karena jam 6 pagi harus berangkat lagi ke Solo naik bus, gils gue aja ngap tidur dulu sampe jam 10 pagi baru abis itu berangkat kelayapan.

Gue memutuskan untuk pergi ke Sate Ratu dulu. FYI, rumah Budhe gue ini letaknya cukup strategis dari tempat-tempat yang seru atau kuliner enak di Jogja (bahkan dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan, di deket rumah udah banyak banget coffee shop baru wew). Jadi dari rumah ke Sate Ratu yang terletak di Jl. Sidomukti, Tiyosan, Condongcatur cuma memakan waktu sekitar 15 menit. Sate Ratu ini sebenernya rekomendasi temen gue pas tahun 2019 kalau nggak salah, dan ever since then setiap ke Jogja gue selalu mampir ke sini. Cuma bodohnya, gue lupa kalau gue datang di hari Sabtu siang. Pas sampe mbaknya bilang "Tapi antrinya masih sekitar 25 orang lagi mba" 😭 Gimana yak gue udah kadung dateng kesini terus mana kebayang lagi satenya plus laper pula. Ya udah gue iyain aja. Untungnya ternyata antriannya nggak selama yang gue kira lah mungkin sekitaran 45 menit. Ketika nama gue dipanggil, dari sekian banyak orang, mungkin nyampe kali 100an, gue doang kayaknya yang makan sendiri 😂😁 sampe ditanya pelayannya "Sendirian aja mba?" cuma nanyanya genuine nanya bukan yang ngenye gitu, mungkin dia make sure gue nunggu orang apa nggak. 

Bagi yang nggak tahu, Sate Ratu menyajikan sate ayam aja. Yang bikin beda menurut gue itu bumbunya. Gue tuh paling anti makan kulit ayam kalau di sate, tapi kok ini enak ya, nggak pernah gue ngerasain sate kulit kayak gini. Teksturnya jadi nggak terlalu kenyel dan lebih gampang dikunyah. Oiya waktu nunggu makanan dibilang sekitar 30 menit karena emang satenya tuh gede-gede jadi bakarnya lumayan lama ceunah. Tapi gue nggak merasa selama itu sih, padahal laper. Apa karena gue sambil main game ya? Pokoknya total makan gue itu Rp70.000, udah termasuk nasi putih, sate merah, dan sate lilit basah (this is my favorite). Lumayan pricey sebenernya, tapi worth it kok. Masalahnya mereka nggak jual frozen atau semacamnya. Temen gue aja sampe ada yang nanya "Lo ga buka PO De?" Bingung juga sebenernya karena takut basi jadinya emang nggak bisa, lo harus ke Jogja. Tapi mereka ada di GrabFood kok bagi yang lagi di Jogja tapi mager ke tempatnya. Saran gue sih jangan pas weekend deh kalau kesini wkwk dan mereka juga nggak terima reservasi.

Onto the next destination, salah satu tempat yang gue amat sangat excited untuk datengin yaitu Artlinx Store. Nah ini tuh lumayan deket dari Sate Ratu, masih di Condongcatur juga. Jadi gue memutuskan untuk jalan kaki aja karena kalau naik motor tuh cuma 3 menit, agak rugi yes mau order ojol. Walaupun ternyata pas jalan kaki lumayan jauh, sekitar 1.5 kilometer / 18 menit. Tetapi untungnya saya memang sudah prepare badan dengan olahraga setiap hari seminggu sebelumnya biar kuat. Mana cuaca lumayan terik sekitar 32 derajat 🥵 cuma gue bawa enjoy aja karena area Condongcatur ini kayak yang asri gitu, walau at one point gue hampir kena heat stroke juga sih. Tapi gue atasi dengan minum dan ngeliat sawah. Artlinx Store ini toko yang menjual pernak pernik kayak sticker, gantungan kunci, pop socket, tas, notebook, journaling kit, kartu ucapan, art print, dan lain sebagainya. Dan yang paling penting harganya super affordable! Sticker cuma belasan ribu, mungkin paling mahal Rp20.000, pop socket sama ganci start from Rp20.000, bookmarks start from Rp6.000, notebooks start from Rp12.000, dan lain-lain. Barang yang paling mahal di sana palingan tas laptop (yang ujung-ujungnya dibeli nyokap) seharga Rp185.000 sama tas gitu sekitar 200 ribu. 

Tokonya berada di pinggir jalan jadi nggak sulit untuk ditemukan, ada parkiran motor. Tapi untuk mobil harus ke salon di sebelahnya. Pas sampe sekitar jam setengah 3 sore, keadaan nggak terlalu rame untungnya tapi lumayan juga ada beberapa orang. Ruangannya nggak terlalu besar tapi somehow nyaman untuk kesana kemari, mungkin karena nggak terlalu rame juga kali ya (feeling gue mereka in the near future harus pindah tempat ke yang lebih besar 😏). Pengunjung harus buka alas kaki mungkin dengan alasan supaya area toko bersih karena ada beberapa barang di bawah-bawah jadinya harus jongkok kalau nyari. 

Pas masuk rasanya kayak Ya Allah I belong here 🥺  karena gue emang suka sama perintilan gemes dari dulu. Terus gue ngerasa kayaknya sayang gitu kalau nggak ngebeliin temen-temen gue, akhirnya gue tanya beberapa temen dan mereka mau nitip beberapa item. Temen gue juga pas ngeliat story IG nanya gue lagi dimana yang akhirnya heboh sendiri pengen borong (dan emang borong dia wkwkwk). Dari sini gue kepikiran untuk yaudah buka jastip aja deh wkwkw. Gue ngerasa sebenernya toko kayak gini banyak ya yang serupa, tapi Artlinx Store ini cukup murah. Kayaknya kalau buka di Jakarta nggak bakal semurah ini wkwkw. Walaupun affordable, barang-barangnya kualitasnya oke kok. Tapi ada sih beberapa item yang cetakannya atau hasil printnya blur, cuma mostly semuanya oke! Gue mungkin menghabiskan waktu di sana sejam lebih, satu setengah jam mungkin karena cari titipan temen-temen gue juga.  Gue mondar mandir kek setrikaan, orang yang mantau CCTV pusing kali liat gue wkwk. Tapi, crew di sini semuanya ramah-ramah dan cukup sigap dalam mencari barang yang kita mau. Karena orang-orang yang nitip di gue, gue suruh buka IG-nya mereka (termasuk adik gue juga). Tinggal tunjukkin aja fotonya atau kartun/film/anime/karakter yang kita mau, nanti mereka coba untuk cariin. Tapi minusnya, ruangannya cuma dikasih kipas doang, although di ruangan yang jual notebook/postcard ada AC-nya sih. Total gue di sana 4 hari, gue ke tempat ini sampai 3 kali karena temen gue masih mau nitip beberapa barang, nggak tau deh yg jaga hapal apa nggak heheh. 

Dari Artlinx gue memutuskan untuk pergi ke Malioboro aja yang merupakan keputusan buruk mengingat ini hari Sabtu. Tapi daripada gue bingung mau kemana mending kesana, toh gue udah searching dan mau ke Pasaraya Malioboro sama Malio Gelato. Ada kejadian bodoh waktu gue pesen ojol, gue ternyata salah masukin maps dan pas turun itu tempat sepi banget. Mas ojolnya sampe nanya 

"Mba ini bener alamatnya"

"Kayaknya salah deh mas hehe" 

"(Ketawa) oh yaudah saya anter aja, mau kemana?" 

"Ke Malioboro Mall aja mas heheh"

Karena gue cukup familiar dengan Malioboro, gue putuskan untuk ke Plaza Malioboro buat solat Ashar dulu, nanti abis itu baru deh jalan-jalan. Ternyata Malio Gelato itu tempatnya persis di seberang Plaza Malioboro, cuma jalan sedikit langsung sampe. Pas sampe Malio Gelato, gue tadinya mau coba-coba beberapa rasa cuma masnya kayak ogah-ogahan dan kurang ramah, ya mungkin melayani pembeli lain kali ya. Akhirnya gue putuskan untuk nyobain rasa praline sama spekulatius kalau nggak salah (lupa banget). Menurut gue rasanya masih enak kok, karena gue pernah nyobain gelato lainnya dan ada yang rasanya super ga enak huhuhuhuu. Tapi gimana ya, nggak yang spesial gitu. Gue tetep prefer Tempo Gelato 😁. Plusnya tempatnya cukup nyaman untuk ngadem dan luas. Abis dari sini gue memutuskan untuk sholat Maghrib dulu di Mesjid Malioboro DPRD. Pas dateng dan nunggu adzan, ada nenek-nenek yang duduk di sebelah gue dan ngomong pake Bahasa Jawa ke gue. Gue tuh sebenernya paham, cuma kalau pelafalannya kurang jelas dan terlalu cepet gue suka sekip. Nah si Mbah ini ngomongnya cepet, pelafalannya (maaf) kurang jelas, dan nada suaranya tinggi (bukan yang marah ya, tapi tinggi aja). Dia cuma nunjuk2 ke sajadah apa apaaa gitu gue ga paham, yaudah gue merapatkan shaf aja ke sebelah kiri, untungnya ada mbak-mbak di sebelah gue yang diajak ngomong sama si Mbah dan kayaknya dia emang orang Jogja/Jawa Tengah. Abis Maghrib gue caw buat ke Pasaraya Malioboro. Tapi gue juga nggak buru-buru sih jadinya sambil melihat sekitaran juga. Malioboro ini sekarang udah lumayan rapi karena semua pedagang yang nggak punya ruko dipindah ke area Teras Malioboro, dulu emang sebelum dirapiin cukup hectic dan puyeng, walaupun kalau hari Sabtu tetep rame sih cuma better lah. Dari Masjid ke Pasaraya ternyata cukup jauh, mungkin 500 meter lebih. Pasaraya Malioboro adalah toko yang jual pernak-pernik khas Jogja, dari gelang, topi, tas, batik, sampe snack. Tapi banyak juga batik. Untuk harga dia lumayan sih, tapi kualitasnya oke kok. Cuma kalau untuk gelang sama printilan masih banyak yang terbilang cukup murah. Gue ga sempet ngefotoin karena nggak enak aja nggak tau kenapa hehe. Sampe sekarang masih suka sungkan untuk ambil foto di tempat-tempat, walaupun mungkin boleh-boleh aja. Setelah melihat-lihat sebentar, karena pengunjung udah mulai ramai berdatangan ke Malioboro, secara itu jam 7 dan gue juga udah mulai capek, akhirnya gue memutuskan untuk balik saja. 

Di hari Minggu gue jalan-jalan bertiga sama nyokap dan kakak sepupu. Pagi-pagi kita ke makam keluarga gue dulu lalu habis itu pergi ke Pasar Beringharjo yang juga terletak dekat Malioboro. Gue kesana pengen nyari kebaya kutubaru, banyak sih di online shop sama Instagram, tapi kok pada overpriced yah dan gue nggak tau bahannya kayak gimana. Terus akhirnya setelah searching di TikTok, nemu toko yang jual baju second dan banyak kebaya juga. Nyokap gue juga nyari semacam rempah-rempah gitu di sini, adanya di lantai 1. Setelah puas beli, kita nyari toko yang gue maksud dan ternyata tidak mudah. Sepupu gue aja yang notabene orang sini harus nanya orang dulu dan liat videonya berkali-kali. Setelah muter agak lama akhirnya ketemu juga! Lumayan nyempil sih tapi ternyata lumayan rame, ada sekitar 4 atau 5 pembeli selain gue. Bajunya lucu-lucu dan warna-warni! Sayangnya sih kebaya kutubaru yang gue cari nggak terlalu banyak, kalau ada pun kecil-kecil. Tapi untungnya ada yang gue mau, tadinya harganya 30.000 tapi karena ada 1 kancing yang copot gue minta dikurangin dan boleh hehe jadinya Rp25.000. Nyokap gue nemu kain rok bawahan yang udah ada ritsletingnya, tadinya dia nyari buat dia cuma ternyata nggak cukup malah cukup di gue wkwkw. Harganya? Rp20.000 sajaaa. Dan terakhir gue nemu kebaya putih yang surprisingly pas banget di badan gue dan cocok dipake sama rok bawahan batik yang tadi. Wah kayak meant to be, harganya juga cuma Rp25.000 😭 Jadi gue beli baju 3 total cuma Rp80.000. Setelah muter-muter, nyokap ngajak buat makan es dawet legend yang sudah ada semenjak tahun 1960-an, semangkok cuma 7 ribu. 

Karena temen gue masih ada yang mau nitip, gue ke Artlinx Store lagi cuma kali ini dianterin sama sepupu dan bareng nyokap. Terus abis itu cabut makan siang ke Jejamuran. Sesuai dengan namanya,, restoran ini menyajikan menu all mushroom (but not that kind of mushroom). Ini juga tempat wajib yang gue datengin setiap kali ke Jogja. Makanannya enak-enaaak, bahkan minuman es cokelatnya juga enak. Bumbunya tuh berasa, kalau gue kesini biasanya gue pesen telur dadar jamur sama jamur geprek (ini pedes ya lumayan). Kalau favorit nyokap gue itu sate jamur. Saking enaknya, temen nyokap gue yang waktu itu diajak kesini sampe 3 kali dateng loh hahahah. Dan untungnya mereka ada kalengannya yang bisa dibeli untuk oleh-oleh, harga per kalengnya 20 ribuan. Udah deh setelah kekenyangan akhirnya kita semua pulang. 

Begitulah cerita gue di Jogja kali ini. Ini sebenernya bukan kali pertama gue kelayapan sendiri di sini, pernah tahun 2021 pas pandemi gue ke Jogja beberapa hari sendirian karena bosen banget di rumah. Satu hal yang gue suka di Jogja, selama ini gue pergi sendiri, entah kenapa selalu ngerasa aman. Nggak ada yang rese atau catcalling sepanjang gue jalan. Dan kalau dibilang orangnya ramah memang benar, si mas ojol yang tadi nganter gue ke Malioboro nggak mau gue bayar lebih, padahal gue udah maksa-maksa, tapi dia beneran nggak mau. Baik sekali huhu semoga rejekimu lancar terus ya mas ojol.

I was sleeping in a hotel room somewhere in Kemayoran, waiting for my little sister to call because she was watching Bring Me The Horizon (BMTH) Day 1. At 11.30 PM she texted me "THE SHOW IS STOPPING HALFWAY, STAGE PROBLEM. CHECK TWITTER NOW" I replied with "whaaat" and checked Twitter immediately.

At a glance, the sight was quite brutal. Some people were yelling and storming the stage. I told my sister to be careful.

When she came back safely around 1.30 in the morning, she was pissed which was understandable. I monitored social media for two days figuring out what went down until finally, Oliver Sykes BMTH's vocalist broke his silence via the band's Instagram story as to what actually happened. It was because the stage was bouncing so much that both the band and crew were worried something far more fatal could occur, so they canceled the show mid-performance. This was the right move because had they continued, it would've been dangerous for everyone inside. Many said it felt like an earthquake at the venue. They managed to deliver 11 songs out of 18 or 19 if I'm not mistaken.  

But the sadder outcome was, day 2 was fully canceled. Saosin, initially deemed the day's opening act, failed to perform at all. This marked their second cancellation to play in Jakarta this year (previously Hammersonic), by the same promotor. In their Instagram post, they're going to refund the tickets. Proportional for day 1 and a full refund for day 2. 

As a concert-goer for more than a decade now, I feel like I might have a little to say about this. BMTH has a huge fanbase coming from all over Indonesia, not just from Jakarta and the metropolitan region. Not even just from Java island. My sister's friend for example, they came all the way from Palu, Central Sulawesi. I can't imagine the amount of cost they had to spend in order to come here, yet the promotor's way of delivering the bad news could've been handled more gracefully. Putting one hand in your pocket reeked arrogance instead of remorse, not a great gesture whatsoever. Although I don't condone the audience's behavior of expressing themselves either, they had the right to be angry. I only had to experience one cancellation (Four Year Strong in 2010 or 2011), but at least it was months before not like this. And this might impact the whole live music ecosystem in the country. I'm afraid that it's going to get harder to assure bands and international acts to perform here. But let's hope that it won't happen. 

I can't say much because I'm neither the promoter nor the fans so I'm just seeing this objectively. Maybe all of this happened for a reason, but I don't know what it is. For me personally, promoters I can trust now are Plainsong Live (Joyland Festival), Ismaya Live (We The Fest), and Java Festival Production (Javarockin'land, Java Jazz Festival). Or you can check the ones registered in Asosiasi Promotor Musik Indonesia. Now summoning Java Musikindo, please come out from your hibernation. We need you and we miss you 🙏🏻    

Photo Source:

Bring Me The Horizon Poster

I was standing perplexed looking around the room that I was in. It was an old empty building by the river once used as a security post in my neighborhood. I was looking at my older brother and his friends, who were seemingly unbothered and still playing around as cheerful as they could be. What had happened was, I felt the earth shaking so hard, like the ground was about to rip open. I was 6 or 7, well aware of what an earthquake is. I was the only one seeing and sensing it. I kept that to myself not wanting my brother and his friends to regard me as a dullard little child, they were at least five years older. So, I brushed it off and didn’t tell anyone.

Supernatural or not, it was one of the many strange events that I experienced.

But I’m not about to narrate those occurrences, but rather what sparked my interest. I’ve always had a predilection for liking all things creepy and grim. This interest of mine dates back to when I was just a mere grade schooler, my age hasn’t even hit double digits yet. Back then, aside from the craze of Harry Potter, there were mangas called “Nakayoshi” and “Serial Cantik” (do I tingle some memory strands in your brain?). I tried reading both, but I always gave up halfway. I chose “Serial Hantu” and “Cerita Hantu di Sekolah” instead. I too loved reading funny comics like “Kungfu Komang”, “Hagemaru”, and “Master Q”. Even for Lupus novels, my favorite ones were ghost-themed ones. Only when I entered middle school, I dived more into the ‘teen lit’ romance genre such as “Dealova“, “Lovely Luna“, and “Eiffel, I’m in Love“. But most of the time I enjoy those horror comics and novels the most.

My enthusiasm toward scary things continues to this day. I contemplated and tried to recall what made me love this genre so much.

If I’m putting the pieces together, my Dad’s influence had a pivotal role in it. I used to watch horror TV shows, the most prominent one was of course “Dunia Lain”. My Dad would often watch it every time he was home (he used to travel a lot for work), and the curious me snuck out of bed even when my Mom forbade me from watching the show in fear of having nightmares. But my wayward behavior and great inquisitiveness made my Mom give up and eventually let me relish the terror aired on TV with Dad. There was another show that I vividly remember called “Scariest Places on Earth” which mostly visited old castles in Europe. I was just mesmerized by those shows. Yes, it was dreadful and nerve-wracking, but I always felt safe because Dad was always within my eyesight. While watching, he usually played Solitaire on our Windows ’98 computer if commercial breaks were showing (which can be very long). Before owning a computer, he’d play Tetris on his light grey game bot on the terrace while smoking, I’d yell or go outside and tell him when the show was starting back on. 

I think that’s what started it. The feeling of comfort when enjoying horror-related content. I know it sounds contradictory, but that’s just how it is. From time to time, when I lose sight of myself, engaging with ghost stories is a familiar act, which I have been doing for more than 20 years. Hence the consolation to feel like me again.

Telling ghost stories is also one of the ways my Dad and I bond. I subconsciously found solace in his presence. Sometimes he liked to tell me about scary stuff that he experienced because he was also quite ‘sensitive’. From meeting the ghost pastor in Jeruk Purut Cemetery to seeing my Grandma’s doppelgänger while studying for his master’s at my grandparents’ house. I’d attentively listen to his tales, my expression would be illustrated as that Puss in Boots meme, staring at my Dad with a wide-rounded gaze, smitten by his words.

Now my Dad and I no longer share the same dimension. But I still share the same sentiments, especially when I’m watching a movie or series. Sometimes I thought to myself, “Man, my Dad would’ve loved this”. We too share the same taste when it comes to movies. Sometimes his commentaries irked me, when there was an absurd scene, he’d say “That didn’t happen, it’s a lie.” Over and over again until I’d say to him: “Of course. It’s JUST a movie.” With a deadpan, annoyed face followed by his cheeky laugh. In retrospect, I think he was just teasing me.

Nowadays in Indonesia, horror-themed movies, shows, and contents surely still attract major crowds. For me, it’s a pleasant thing because there are so many options that I can choose. I often listen to horror podcasts while doing my activities, from working to putting on makeup. I don’t give a rat’s bum whether or not the stories were true. When I don’t quite enjoy the story that I’m currently listening to, I’ll simply move on to the next one. If there’s a story that seems really beyond reason or I suspect its authenticity, I still really salute that person for having an above-average imagination.

In fact, due to listening to horror podcasts, I know more about the culture, habits, customs, and even the religion of many Indonesian citizens. It moved me somehow ̶ as cheesy and cringe-y as it sounds ̶ we are united by our liking of ghost stories. I think we need to find more things in common these days. 

I also tried listening to horror podcasts from the West, but they’re not as interesting and diverse as Indonesians’. They are mostly just about murders, psychopaths, and aliens.

And for those who consider Indonesians are dumb for still believing in the supernatural and superstitions, well to each their own I guess. Everyone is entitled of their own opinion. 

So there’s that. I’m beyond delighted when I’m meeting people who share the same love for things creepy. Personally, I think there are two ways to unite people: telling gossip and telling horror stories. I’d prefer to choose the latter because, well, less chance of causing havoc (probably).

Enjoy this horror story gue waktu KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Bogor. Maaf sebelumnya kalau nggak jelas cara penyampaiannya (I said "gitu" and "segala macem" too much) karena kejadiannya udah lama, jadinya gue sambil nginget-nginget juga. Seret ya ngemeng selama setengah jam ternyata 😂

Judulnya bukan review karena emang bukan book review karena nggak punya bukunya 🤣 cuma gue merasa ini buku yang cukup penting untuk dibaca hari gini. 

Awal tau buku ini karena waktu itu lagi dengerin suatu podcast, lalu si pembicaranya bilang: one of the most amazing books in this modern age. Lagian ini in line dengan apa yang sedang gue alami dan cukup menjawab keresahan gue. Tapi nanti bakal dibahas satu-satu.

Sinopsis Dopamine Nation yang gue ambil dari website penulisnya, Anna Lembke MD:

This book is about pleasure. It’s also about pain. Most important, it’s about how to find the delicate balance between the two, and why now more than ever finding balance is essential. We’re living in a time of unprecedented access to high-reward, high-dopamine stimuli: drugs, food, news, gambling, shopping, gaming, texting, sexting, Facebooking, Instagramming, YouTubing, tweeting . . . The increased numbers, variety, and potency is staggering. The smartphone is the modern-day hypodermic needle, delivering digital dopamine 24/7 for a wired generation. As such we’ve all become vulnerable to compulsive overconsumption.

Intinya, buku ini menulis tentang bagaimana keadaan dunia yang sekarang semuanya serba mudah diakses atau didapatkan, kita bisa terus-terusan mencari kesenangan-kesenangan. Kalau nggak di stop atau seenggaknya dicari keseimbangan, bisa bahaya. 

Tapi sebelumnya mari berkenalan sedikit dengan dopamin yang terdengar cukup familiar tapi mungkin belum terlalu paham sebenernya ini apa. Diambil dari HaloDoc:

Dopamin adalah zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam memengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang. Kekurangan atau kelebihan zat kimia tersebut bisa menyebabkan gangguan kesehatan.

Balik lagi ke sinopsis Dopamine Nation yang menyebut "pleasure or pain". Menurut Dr. Anna Lembke, sang penulis yang juga seorang psikiater, sensasi kesenangan dan rasa sakit itu di dalam otak kita letaknya berdekatan, dan si dopamin ini yang mengaktifkannya.  

Dr. Anna Lembke sendiri adalah seorang profesor psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford dan kepala dari Stanford Addiction Medicine Dual Diagnosis Clinic (Klinik Diagnosis Ganda Pengobatan Ketergantungan Stanford). Jadi yang nulis bukan orang sotoy dan beliau sendiri sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam menangani kasus addiction atau kecanduan. 

Walaupun gue belum baca secara menyeluruh (baru free samplenya aja di Google Books), tapi gue sudah bisa menangkap secara garis besar buku ini tentang apa karena gue dengerin wawancaranya juga. Yaitu bagaimana kita tau kalau kita lagi kecanduan dan bagaimana cara kita menghentikannya. Satu hal yang menarik adalah, Dr. Anna juga salah satu orang yang pernah kecanduan, cuma kecanduannya baca buku romance and fantasy. Bahkan dia bilang, saking kecanduannya dia pernah nyuri kesempatan baca novel di Kindle pas lagi sesi terapi sama pasiennya. Jadi semua orang punya tendensi kecanduan, bahkan orang yang pinter sekalipun, walaupun memang ada faktor-faktor pendukung lainnya yang bisa memengaruhi tingkat kecanduan itu sendiri kayak genetik, keluarga, atau lingkungan sekitar. 

Buku ini dibuka dengan cerita salah satu pasiennya yang bernama Jacob, seorang scientist yang kecanduan masturbasi sampe-sampe bikin mesin masturbasi sendiri. Gue nggak akan cerita detailnya, pokoknya wadidaw 😱. Tapi kasian juga, dia sampe suicidal dan cerai sama istrinya, oh dan dia umurnya udah 60an. Jadi bisa dibilang Pak Jacob menderita kecanduan masturbasi seumur hidupnya.

Balik lagi ke masalah keresahan gue, bukan soal masturbasi tapi. Waktu itu gue nonton di bioskop dan sumpah sepanjang film ada aja orang buka handphone, dan gue rasa mereka bukan buka sesuatu yang urgent, tapi buka sosmed. Kenapa gue tau? Ya karena keliatan. Seminim apapun lampu layar, tetep keliatan dan sangat nge-distract. Kayaknya sih mereka bosen, karena ada beberapa bagian di film tersebut yang memang pace-nya agak lambat. Tapi ya nggak berkali-kali dong jamblang, dan itu nggak cuma satu orang, tapi beberapa. Masa iya nggak bisa gitu nggak liat handphone barang satu setengah jam? Segitu kecanduannya kah kita sama handphone? Lalu dari sini gue berkaca, bahwa sebenernya gue juga sama aja.

Sekarang, Dr. Anna bilang bahwa we choose our own drugs. Nggak harus seekstrem kecanduan narkoba atau substance, tapi bisa terhadap barang (handphone, mobil, makanan/minuman), perilaku (online shopping, judi, kerja/produktivitas), bahkan ke orang. Yes betul kita bisa kecanduan sama orang. Karena dunia saat ini dipenuhi dengan kepuasan-kepuasan yang nggak terhingga, jadi yang belum kecanduan katanya tinggal tunggu tanggal mainnya.

Gue sendiri jadi mikir, setiap hari pasti megang hape setidaknya 3 jam, entah buka sosmed atau main game. Kalau nggak buka rasanya gatel dan kayak ada yang hilang. Bahkan sampe jempol gue keram dan lunglai aja gue masih ngerasa kurang dan tetep maunya megang hape.  

Cuma sekarang gue lagi mengurangi, kalau lagi buka Instagram, gue deactivate Twitter, begitu pula sebaliknya. Kadang malah gue deactivate Instagram dan Twitter. Untuk TikTok tetep ada karena berhubungan sama kerjaan. Dan sebisa mungkin nggak buka handphone walau tetap buka laptop wkwkw setidaknya kalau buka laptop lebih banyak inspirasi yang mengalir.

Lalu bagemana kita tahu kalau kita lagi kecanduan tapi nggak sadar? Ketika hari-hari kita mulai keganggu. Misal gue harusnya olahraga, beres-beres, atau baca buku, tapi ujung-ujungnya malah cuma main hape seharian. We know we shouldn't be doing this, but we can't help ourselves. Atau yang cukup marak adalah kecanduan judi online, yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi seringkali orang lain. Tapi ternyata problem solvingnya memang tidak mudah karena ada hubungannya juga dengan sistem biologis di otak kita. 

Gue juga kayaknya sempet sedikit kecanduan order makanan online deh. Jadi bukan ke makanannya, tapi lebih ke proses milih-milih makanan dan menunggu si makanan itu datang. Sebelas duabelas sama online shopping kan, sensasi unboxingnya itu yang kita seneng, padahal mah udah tau juga beli apa. Pernah suatu ketika maag gue kambuh atau gue lagi sakit gue malah bersyukur, hikmahnya gue nggak nafsu makan apa-apa jadinya nggak bakal jajan 😭

Ngomongin soal proses, kembali ke permasalahan orang buka handphone pas nonton bioskop. Menonton film itu kan juga proses, yang biasanya terdiri dari awalan, konflik, penyelesaian masalah hingga akhir/klimaks. Ini semua seharusnya kita tonton secara khidmat, cuma sepertinya banyak orang yang nggak sabar. Jadinya ya itu tadi, karena bosan, dopamin di otak kita berada di wilayah "pain" dan kita mungkin secara otomatis mencari "pleasure", bisa jadi buka handphone juga nggak sadar tiba-tiba udah megang aja gitu.  

Padahal semuanya butuh proses, mungkin ini juga yang udah dilupakan sama banyak orang di era yang serba cepat ini (do I sound ancient by saying this though? But whotevurrr). SEMUA ITU BUTUH PROSES. Lihat aja tumbuh kembang anak, dari lahir sampe sesimpel buka mata atau bisa tengkurep aja ada prosesnya. Bayangin kalau abis bayi lahir tiba-tiba dia minta jajan di warung Madura, apa nggak ngeri. 

Karena sekarang kebanyakan hal didesain untuk memenuhi preferensi kita, a slight discomfort or inconvenience akan membuat kita kesel bukan main atau keganggu. Padahal bisa jadi itu adalah sebuah proses yang harus kita jalani biar jadi lebih baik atau membantu kita grow as a person (ngetik sambil ngaca), tapi kita terlalu nggak sabar untuk melewati itu, maunya ke bagian akhir aja.  

Namun tentunya, cara untuk menghentikan kecanduan itu sendiri nggak bisa instan dan harus pelan-pelan. Dr. Anna punya metode 30 hari, yaitu bener-bener menghilangkan sepenuhnya kontak kita sama hal yang bikin kita kecanduan. Gue juga belum terlalu paham sih ini gimana konsepnya, soalnya kalau di otak gue, gue membayangkan cuma bisa diterapkan sama yang kecanduan narkoba, alkohol, atau makanan. Kalau misalnya ada yang kecanduan kerja, masa nggak kerja sama sekali selama sebulan? Entahlah, memang harus baca bukunya dulu kayaknya. Meskipun dapet mixed reviews di Goodreads (3.9 / 5), justru ini gue malah makin penasaran sama bukunya. Memang reviewers di Goodreads jauh lebih kritis sih, kalau di Amazon dapet rating 4.5 / 5. 

Segitu dulu saja misuh-misuh post dari saya kali ini, mungkin akan menulis book review untuk Dopamine Nation kalau sudah beli, itu pun kalau tidak mager 😌

Sumber foto:

Dopamine Nation & Dr. Anna Lembke

Setelah memikirkan matang-matang akhirnya gue memutuskan untuk cuti pada hari ulang tahun gue selama 2 hari dan jalan-jalan ke Bogor.

Sebenernya waktu bulan Februari gue udah ke Bogor juga tapi waktu cuti gue rusak akibat lupa matiin notif email dan liat kerjaan yang bikin gue bad mood. Jadi bisa dibilang ini kayak bales dendam ya hehe. 

Gue nginep di tempat yang sama, Rion Hostel. Setelah searching penginapan lain kok nggak ada yang sreg gitu. Sebenernya gue tau hotel yang lumayan oke pas dulu nemenin bokap dinas di Bogor, cuma jujur agak creepy, mungkin kalau berdua gue berani, tapi ini gue cuma sendirian. Namun kali ini gue nggak bakal ceritain tentang hostel, but what I did and ate in Bogor.

Entah kenapa gue suka banget ke kota hujan ini, mungkin karena aksesnya gampang bisa dijangkau KRL dan langsung bisa merasakan vibe yang cukup berbeda dari kota Jakarta. Apalagi sekarang Jabodetabek polusinya lagi parah-parahnya. Di Bogor gue bisa menghirup udara yang statusnya "Moderate" bukan "Unhealthy".

Untuk staycation kali ini cukup simpel, gue berencana mau naik sepeda keliling Kebun Raya Bogor (KRB) karena sebelumnya gue kesiangan dan udah keburu bete akibat kerjaan plus capek juga bawa banyak barang. Karena ini lah gue nggak packing too much stuff supaya nggak keberatan ceritanya pas naik sepeda. Untungnya sepanjang perjalanan dari Tangerang Selatan sampe Stasiun Bogor, gue selalu duduk. Jadi pas sampe, badan gue masih segar bugar 💪🏻. Turun dari kereta gue makan dan sholat dulu, karena gue ke sana weekday jadinya keadaan nggak begitu ramai. Selesai isoma, gue tadinya berencana mau naik angkot tapi nggak jadi soalnya cuacanya cukup panas dan macet, jadinya gue naik Maxim aja.

Sampai di KRB, bayar tiket masuk seharga Rp16.500 dan gue langsung menuju ke tempat penyewaan sepeda. Tapi pas di sana kok sepeda yang gue mau nggak ada. Gue maunya sepeda keranjang gitu karena pendek dan lebih gampang dikendarainnya dan gue bawa ransel gede. Tapi yang ada malah sepeda gunung. Kata yang jaga, sepeda keranjangnya masih sekitar 20 menitan lagi. Karena nggak ada dan gue nggak mau nunggu selama itu, gue lihat ada sepeda listrik keranjang, akhirnya memutuskan sewa ini aja. Harga sewanya Rp50.000 untuk 1 jam, lumayan sih nggak terlalu mahal-mahal amat dan gue memang udah prepare duit juga. Setelah ngasih KTP buat jaminan, langsung deh gue meluncur naik sepeda keliling KRB, yeaaay!

Cuma karena belum pernah naik sepeda listrik, gue nanya gimana cara matiin biar jadi sepeda biasa tapi gue nggak bilang ke abangnya kalau gue belum pernah naik wkwkw. Tapi kayaknya abangnya tau deh, orang mereka ngeliatin gue pas gue bawa sepeda ke jalan utama sambil nuntun sepedanya 🤣. Berat juga ya ternyata. Gue diperbolehkan sewa sepeda sampai jam 14:20. 

Gue yang juga udah lama nggak naik sepeda awalnya agak kagok juga, tapi lama-lama bisa kok karena muscle memory kali ya. Terus pas udah agak jauh dan nggak keliatan abang tukang sewa, gue beraniin untuk nyalain jadi sepeda listrik. Tetep kagok dan gue kalau ngerem masih pakai kaki bukan rem sepeda. Keliatan banget masih pemula. Tapi karena gue nggak mau sepatu gue alasnya jadi rusak atau gampang aus, jadinya gue coba pakai rem sepedanya. Selama muterin KRB, ada momen ketika gue tiba-tiba ngerasa bahagiaaa banget. I feel like deserve this break akibat hampir seminggu hectic bekerja. Malah dua hari sebelumnya badan gue sampai meriang akibat maag kambuh, bukan karena telat makan tapi gara-gara stres. Untungnya setelah minum obat dan tidur sebentar udah sembuh. Bahkan sehari sebelum ke Bogor, jam 10 malem gue masih meeting padahal gue lagi ketemuan dan reuni sama temen-temen. Gue foto-foto sambil meeting onlen, nggak pernah terpikir dalam hidup gue akan mengalami hal ini wkwk. But it's part of life ya tidak boleh mengeluh hanya bercerita. Balik lagi ke KRB, gue keliling cukup jauh ke dalem bahkan sampe ujung yang nggak ada orang sama sekali. Gue agak jiper juga takut tiba-tiba kesambet di siang bolong. Setelah quick photo session gue kembali mengarah ke peradaban. Lagi-lagi kalau gue berdua mungkin gue berani untuk menjelajah lebih dalam, gue cuma takut nyasar aja. Selain sepeda, ada yang nyewain skuter listrik juga. Mungkin next gue akan mencoba itu. Pas jam 14:10 gue balik ke tempat penyewaan dan bisa dibilang gue sudah expert dalam mengendarai sepeda listrik 😎. 

Setelah selesai keliling-keliling, gue mampir dulu ke Suryakencana yang ada di seberang KRB. Rencananya mau kulineran tapi ternyata rame dan macet. Mana panasnya nyegat banget. Akhirnya gue cuma beli baso goreng sama es teh buat dimakan di hostel. Saking panasnya gue hampir kena heatstroke pas nunggu ojol. Untungnya aman dan gue menuju ke hostel jam 3 kurang. Sampai di hostel gue nyantai sambil ngadem dan tidur sebentar karena malemnya gue mau makan di restoran Italia, Padre. 

Abis mandi dan sholat Maghrib, jam setengah 7 malem gue berangkat ke restoran karena jam 8-nya mau war tiket Ghibli orchestra (full story here). Kenapa gue pilih restoran ini? Tadinya gue mau ke restoran lain, tapi liat komen di TikTok ada yang menyarankan ke Padre aja, setelah gue liat-liat ulasan sama Instagramnya, kayaknya restoran ini lebih cocok untuk birthday dinner hehe. Cuma restoran yang sebelumnya gue tetep mau coba kok, lain kali Insya Allah. Jarak dari hostel ke sana itu cuma 8 menit. Ini salah satu hal favorit gue kalau nginep di Rion, karena deket sama Jl. Baranangsiang. Di daerah sini banyak restoran yang oke plus nggak se-rame dan se-hectic tengah kota. 

Kesan pertama pas masuk emang gemes sih restorannya dengan interior khas Italia. Yang gue penasaran malah kamar mandinya karena kata orang-orang bagus. Tempatnya juga lumayan luas, ada indoor dan outdoor. Bagian outdoor ada air mancurnya, makin terlihat estetik. Gue langsung pesen Ragu, Zuppa di Funghi (mushroom soup), dan Panacotta inceran gue (tapi ujung-ujungnya gue cuma makan sedikit dan malah dibuang 😭). Minumnya cuma air putih aja soalnya siang tadi gue udah dua kali minum es teh manis. Untuk rasa sendiri sih nggak terlalu yang wow gitu ya, tapi tetep enak kok. Tapi dari semua menu yang paling gue suka Panacotta, nggak terlalu manis malah cenderung asem. Cuma itu tadi nggak sempet gue makan banyak huhuhuu. Tempat ini cocok banget buat dinner date atau sama keluarga atau sendirian kayak gue juga nggak masalah kan bayar. Dan bener aja dong, pas gue ke kamar mandinya emang bagus, cuma bodohnya gue nggak sampe masuk stallnya, cuma di wastafel ama depan stall doang. Overall ini tempat cukup recommended dan mungkin gue akan balik lagi someday.

Setelah lelah batiniah akibat nge-war tiket Ghibli orchestra, jam setengah 9 balik ke hostel tapi sebelumnya foto-foto dulu karena udah sepi. Di bagian belakang atau outdoor ada opa-opa yang juga lagi makan sendirian, kok aku somehow relate ya?

Udah deh sampai di penginapan gue main handphone doang sampe jam setengah 2 pagi wkwkwk.

Gue tadinya mau ke Museum Sejarah Nasional Indonesia (Munasain), cuma karena capek dan mau ketemuan sama temen gue juga di Bintaro akhirnya gue memutuskan langsung ke Kedai Es Teh Jaya Abadi. Gue berangkat sekitar jam setengah 11 naik Maxim. Abang Maximnya sama sekali nggak pake atribut ojol dan pake sendal sama celana pendek. Dia bilang "Maaf kak, saya pakai celana pendek. Abis pulang kerja". Ya saya mah nggak masalah yang penting nyampe tempat tujuan. Malahan dia tau jalan pintas yang sangat-sangat memotong durasi perjalanan. Saking nggak keliatan dia ojol, pas sampe tujuan, tukang parkir sampe bilang gini ke dia "Kalau mau parkir jangan di kunci stang ya" wkwwkw mungkin dikira bapaknya kita ini semacam couple. 

Pas sampe, kedai es tehnya lumayan rame, mungkin karena siang-siang. Gue kira tempatnya kecil, tapi ternyata menjorok ke dalem gitu dan kebanyakan to-go, nggak minum di situ. Mereka jualan makanan juga kayak gorengan dan jajanan pasar. Gue yang laper karena cuma sarapan Pop Mie akhirnya beli es teh susu, risol, sama nasi kucing 2 porsi. Itung-itung kalau nggak abis yang buat bekel perjalanan nanti. Es teh susunya enak nggak terlalu manis dan menyegarkan. Setelah 20 menit gue memutuskan untuk ke Stasiun Bogor supaya temen gue nggak terlalu lama nunggu. Tadinya gue mau jalan kaki aja orang cuma 7 menit dari situ, tapi pas gue jalan ke depan, ternyata ada angkot dan udah penuh juga jadinya nggak ngetem. Nggak taunya deket banget astaga, paling 2-3 menit lah dari kedai ke stasiun wkwk nggak apa-apa soalnya cuaca panas dan gue bawa ransel (alasan, padahal males jalan kaki). Sesampainya di stasiun gue langsung sholat Dzuhur dan abistu naik ke kereta. 

That's it! Short birthday vacation yang sangat menyenangkan secara pribadi buat gue karena itu tadi, I feel like I totally deserve it. Ditambah menang ticket war yang sangat sengit. Onto the next adventure!      

I hate ticket war, but this was the only way for me to get it so I had to do it.

Flashback sedikit, waktu itu gue lagi ketemuan sama temen, terus dia ngasih info tentang Ghibli orchestra ini cuma emang udah lewat. Gue kayak yaaah kok gue nggak tau. Sampai akhirnya penyelenggaranya, TRUST Orchestra mengumumkan kalau bakal menyelenggarakan another Ghibli orchestra. Tentu saja saya tidak akan melewatkan kesempatan emas ini.

Ketika hari H war (8 Agustus jam 20:00), gue udah pasang alarm jam 19:30 in case gue masih kerja atau lupa. Gue tadinya ngajak beberapa temen tapi karena kebanyakan pada nggak bisa, gue mengajak adik dan dia juga excited. Jam 19:40an gue masuk ke kamar adik gue buat ngajak war bareng plus sebagai support juga karena gue orangnya panikan dan emang nggak suka banget ticket war kayak gini huhuuu. 

Selain stand-by buka link untuk ticketing, gue iseng-iseng buka Twitter juga dan search keyword  'Ghibli'. Nggak sengaja liat orang ngepost kok kayak ada antrian gitu padahal belum jam 8. Laman yang gue buka kok beda cuma deskripsi aja, oh ternyata untuk masuk ke web-nya harus di-klik lagi dan bener aja gue langsung masuk ke antrian. Kayaknya gue masuk sekitar jam 19:45-an hampir bersamaan bareng adik gue. Dia aja nggak ngeh kalau udah bisa masuk antrian dan bilang "Kayaknya orang-orang pada nggak tau deh ada queue ini" (this turned out to be true, banyak orang yang ngamuk karena masalah ini). Awalnya cuma nunggu belasan menit, terus pas udah jam 20:00 makin lama jadi sejam lebih karena traffic orang-orang juga baru pada masuk. Gue kayak yailah ini kebagian apa nggak 🗿. Tapi semakin lama durasi antriannya jadi berkurang, mungkin karena kita masuknya duluan. Sumpah kalau nggak buka Twitter gue nggak bakal tau juga kalau ada queue. Sekitar jam 20:30, di layar countdown mulai turun dan turun, dari 10 menit, 5 menit, 3 menit... Gue yang emang duduk di lantai langsung tengkurep karena gue deg-degan parah aseli kayak mau ulangan matematika. Ketika "less than a minute" terpampang di layar laptop dan handphone (oiya gue pake 2 device btw), gue sama adik teriak-teriak kayak orgil, Ya Allah deg-degannya itu loh. Dan nggak berapa lama masuk lah gue ke website.

Show mereka itu ada tiga: 9 September dua show dan 10 September satu show. Ketika masuk ternyata setiap kali gue klik ketiga show itu semuanya unavailable. Kata adik gue udah klik aja terus, kalau abis ya back, klik lagi, masih abis, back lagi, gitu aja ulang-ulang sampe gila. Sempet bisa pilih kuota tiket, eh pas mau pilih seat ternyata nggak ada satu pun yang available atau istilahnya nyala. Untuk seat ada 4 kategori, ranging from Rp200.000 - Rp1.125.000. Semua seatnya nggak ada yang nyala, bahkan yang 1 jutaan sekali pun. Gue sebenernya ngincer yang Rp200.000, cuma karena kejadiannya kayak gini yaudah nggak apa-apa yang mahalan dikit, Rp350.000. Sempet juga udah bisa dipilih seatnya ternyata orphan seat, yaitu nggak boleh nyisain 1 kursi. Contohnya kalau ada 3 seat yang nyala, harus beli 3 nggak boleh 2, karena bakal nyisain 1 seat. INI BERKALI-KALI KEJADIAN, tapi dari pihak penyelenggara nggak ada info apa-apa. Ketika lagi sibuk berjuang, adik gue teriak "ANJIR GUE DAPET" tapi dia panik soal pembayaran wkwk. Akhirnya dia yang lagi duduk di atas kasur turun nyamperin gue, gue yang udah mulai pasrah malah nggak panik sama sekali. Gue bisa dengan tenang nge-guide dia buat bayar, dan Alhamdulillahnya dapet walaupun cuma satu seat. Gue semakin pasrah dengan semua situasi ini, mana maag gue abis kambuh siangnya, banyak kerjaan, terus migren pula. Gue sampe nge-cancel janji pijet buat war ini. Dengan berat hati gue close semua tab baik di laptop dan handphone dengan sedih tapi tetap misuh-misuh. Tapi kata adik gue jangan nyerah dulu, seenggaknya sampe jam 9 malem lah. Tapi gue pikir kan gue udah close semua tab, apa nggak balik in line lagi? Eh ternyata nggak dong, langsung masuk ke websitenya. Ya gue ngikut aja apa kata adik karena dia lebih berpengalaman dalam per-war tiket-an. Tapi tetep aja, malah makin parah. Nggak ada sama sekali yang available. Ketika pukul 21:10 gue benar-benar menyerah 🏳🏳. 

Abis itu gue langsung ke Instagramnya TRUST Orchestra yang dibanjiri oleh keluhan (bahkan caci makian) di kolom komentar. Ini mah gue bukan menjilat ya, tapi dari awal gue emang menyalahkan jastiper dan calo yang bikin web jadi penuh. Dah lah gue nggak mau membahas mereka karena bikin emosi. Plus sistem BookMyShow yang emang kureng, tapi ya pasti ini kesalahan dari pihak penyelenggara juga baik sengaja atau nggak disengaja. Protes banyak orang adalah nggak ada info apa-apa kalau bisa masuk antrian sebelum jam 20:00, dari gue pribadi adalah sistem orphan seat tadi. Katanya dulu yang pas show pertama di bulan Mei, mereka pakai Loket.com. Entah kenapa berubah jadi BookMyShow. 

Tapi gue juga nggak sepenuhnya menyerah sih, karena yang tanggal 8 Agustus ini pre-sale khusus pembayaran menggunakan BCA. Yang general sale untuk umum tanggal 10 Agustus (which is my birthday!), jadi gue masih ada kesempatan. Lagian, adik gue bilang misalkan pas general sale ini gue nggak dapet, tiket dia buat gue aja (terhura 🥹). Mungkin dia tau kalau gue pengen banget ditambah emang gue kan lagi ulang tahun. Cuma karena gue nggak enak, gue bilang liat nanti atau gue berniat beli aja dari dia dan gue tambahin dikit dari harga asli (dia dapet yang Rp200.000). Mendengar itu gue agak lebih tenang.

Hari berikutnya karena gue hectic kerjaan akibat mau cuti jadinya segala kehebohan Ghibli orchestra ini agak sedikit terlupakan. 

Nah di tanggal 10 malem menjelang war, karena gue cuti dan lagi makan malem di luar sendirian, gue mencoba untuk mengisi perut dulu sebelumnya takut maag kambuh. Walaupun gue nggak tau ini sebenernya keputusan bijak atau nggak karena malah pengen pupita dan muntah bercampur jadi satu ketika momen war makin dekat, mana gue lagi di sendirian jadi yah tahan-tahan aja lah. Gue akhirnya ngechat adik gue buat support system supaya nggak stres. Yang tadinya gue kira temen gue nggak ada yang nonton, ternyata ada 2 orang mau nonton juga, satu temen kantor yang sekarang, satu lagi temen ex-kantor yang lama. Sama temen kantor yang sekarang, kita sampe nitip-nitipan, dia beli 3 tiket dan gue juga sama. Tapi sayangnya, yang tadinya satu orang bisa book 4 tiket, untuk war tanggal 10 jadinya cuma bisa 2 tiket aja. Kayaknya untuk mengurangi calo. So, in the end every man for himself ✊🏻. Sistemnya juga udah berubah, yang tadinya link bisa dibuka sebelum jam 20:00, sekarang nggak bisa. Begitu juga dengan sistem orphan seat yang hilang. Walaupun gue udah ngerasa cukup aman karena tawaran tiket dari adik gue, gue tetep mau coba berjuang sendiri, jadinya ya tetep deg-degan. Menjelang jam 20:00 gue stop makan-makan gue dan bolak-balik buka Chrome sama app BCA (biar gampang nggak usah masukin password dan langsung copas virtual account). Gue duduk udah nggak nyaman, goyang-goyang sendiri, menghela napas berkali-kali. Untungnya di sepanjang waktu war ini waiternya nggak nyamperin gue karena emang menu yang gue pesen udah keluar semua. Kalau sampe dia nyamperin pas lagi war, waduh takut emosi bisa-bisa gue selengkat abangnya. JAM MENUNJUKKAN TEPAT PUKUL 20:00. Tapi kok ini nggak bisa diklik ya link general sale-nya woy??! Jir gue yang udah geter sampe ke ginjal ini berusaha tetep napas dan pelan-pelan refresh dan klik. Setelah 3 kali, akhirnya link bisa di-klik! Alhamdulillaaah. Gue emang cuma ngincer yang hari Minggu tanggal 10 September. Oh iya lupa info, karena demand yang begitu tinggi, TRUST Orchestra akhirnya ngadain satu show tambahan di hari Minggu 10 September jam 18:30. Total jadinya ada 4 show. Ya udah gue cuma ngincer 2 show itu untuk kategori Kiki (Rp200.000) atau Ponyo (Rp350.000). Btw gue masuk dari antrian ke website itu nggak lama, paling cuma 12-15 menitan. Emang bener sih untuk orphan seat-nya udah nggak ada, tapi ya permasalahan pas war sebelumnya tetep ada. Bisa pilih jumlah tiket, tapi pas masuk ternyata nggak ada seat yang available. Belajar dari pengalaman kemarin, gue tetep klik-back-klik-back kalau emang tulisannya habis atau seat unavailable. Yang kocak adalah walaupun ada seat yang nyala, tapi ketika diklik itu nggak bisa sama sekali. Bukan habis ya, tapi nggak bisa. Gue nggak tau ini terjadi pas tanggal 8 kemarin apa nggak kalau buka pakai handphone soalnya gue pas pre-sale mostly pakai laptop. Aduh mulai frustrasi. TAPI ada momen ketika mau pilih seat, yang available banyak banget, mungkin ada kali 10 untuk kategori Kiki. Sebelumnya paling cuma nyala 2 atau 3 seat. Nggak pake mikir panjang gue klik aja random, toh cuma 1 tiket ini. TERUS BISA DONG sampe page isi data. Gue diajarin sama adik gue juga pake smart keyboard, jadi pas isi data tinggal copas aja nggak usah ngetik lagi. Ini adalah step di mana banyak orang yang gagal, karena kelamaan isi data. Udah isi data terus confirm, anehnya KOK ISI DATA LAGI? Jadi ada dua kali step buat ngisi data doang ettt dah. Udah selesai klik confirm, berhasil sampe di page payment dan gue pilih BCA virtual account. Karena app BCA itu nggak bisa terlalu lama di close atau didiemin, jadi pas buka app gue harus masukin password lagi. Di sini semua badan gue udah gemeter hebat sampe ke jari telunjuk jadinya susah banget buat mencet tombol 😭 mana gue salah masukin password sekali astaga tapi harus tetep waras dan mindful akhirnya setelah mengambil napas dan membaca Bismillah gue berhasil masukin password, klik payment virtual account, copas, dan masukin PIN. ALHAMDULILLAH gue nggak pernah selega itu liat pengumuman "pembayaran berhasil". Adik gue yang gue cuekin selama proses ini sampe nanya berkali-kali dapet apa nggak. Gue screenshot aja bukti pembayaran BCA gue. Wow gila banget ini ticket war. Gue sampe inget waktu dimana ini semua berakhir, yaitu pukul 20:17. Setelah berhasil, tentu saja badanku lemas seperti sisa lalapan kemaren. Mana kekenyangan lagi wkwkw. Gue sampe minta bungkusin Panacotta yang gue pesen karena nggak sanggup. 

Ketika udah balik ke penginapan, gue buka lagi lah tuh Twitter dan Instagram yang isinya keluhan serta komplen orang-orang. Banyak yang bilang kalau bener kan linknya nggak bisa dibuka pas jam 20:00 teng, kebuka pas mendekati 20:01. War tiket begini kan setiap detik berharga yes. Terus ada yang komen juga kalau link yang mereka klik malah kebuka websitenya Ciputra atau mau payment pilihan paymentnya nggak bisa sama sekali malah balik ke antrian lagi. Termasuk temen kantor gue dia juga begitu. Temen ex-kantor gue gue tanya juga ternyata dia nggak dapet karena masuk antrian pas 20:20 dan udah nggak ada yang available katanya. Ada satu komen kocak: war-nya itu sampe 4 stage: war antrian, war pilih seat, war masukin data, sama war payment wkwkwwk. Tapi emang ini kayaknya ticket partnernya aja yang kureng sih. Karena banyak yang error walaupun gue Alhamdulillah nggak mengalami itu. Mungkin ini hadiah buat gue kali karena lagi ulang tahun hehe who knows. Gue juga sadar bahwa ini peminatnya banyak banget, ada kali belasan ribu (kalau dilihat dari jumlah like di IG). Bahkan yang war ada orang Malaysia juga. Tapi Ciputra Artpreneur ini kapasitasnya cuma 1.157 seats, jadinya sudah pasti nggak memadai. Mungkin bisa kalau acaranya seminggu full 😬.

Sebenernya sih agak kasihan sama TRUST Orchestra juga ya, mungkin mereka nggak nyangka bakal semembludak ini. Gue baca-baca kalau mereka ini non-profit jadi bukan yang profesional orkestra. Yang ngurusin juga volunteer gitu, bahkan ada orangtua dari pemain yang memutuskan nggak nonton anaknya perform, ngasih kesempatan untuk masyarakat umum. Jadi untuk ukuran non-profit menurut gue mereka udah cukup oke kok menghadapi segala kehebohan ini. Dari nambahin show sampe memperbaiki sistem ticketing. Terus, banyak member mereka tuh anak-anak juga. Jangan sampe mereka jadi nggak mau main lagi cuma gara-gara ini sih. Karena aseli coy, galak-galak banget itu komennya. Paham sih gue kalau di posisi mereka juga gue pasti emosi, tapi dibalik itu semua artinya mereka sangat antusias.

Segitu saja pengalaman war tiket pertama gue yang kata orang-orang melebihi K-Pop bahkan ada yang menyamakan dengan Coldplay. But in some miraculous way, I managed to snatch one. Beginner's luck I guess.

Photo source:

TRUST Orchestra's Instagram

Tanggal 26 Mei 2023 kemarin gue memutuskan untuk cuti setengah hari dan pergi ke Museum Macan sendirian. 

Back story, jadi seminggu sebelumnya gue ketemu sama salah satu temen untuk WFC (work from cafe). Setelah kerja, ya pastinya kita catch-up cerita tentang kehidupan masing-masing. Sampai di suatu titik dia nanya "Gimana pas pulang kampung, gimana Jogja?" terus gue bener-bener blank, sekosong itu pikiran gue, nggak inget ngapain aja padahal pulang kampung yah paling sebulanan yang lalu. Terus gue bilang sama dia, "Sumpah akhir-akhir ini gue sering lupa deh." Terus gue inget kalau waktu itu malah pernah mengalami kejadian yang lebih parah. Gue nggak inget sehari sebelumnya ngapain aja. 

Sesungguhnya gue agak worry sama hal ini, but I always brushed it off. Pun abis gue balik dari WFC sama temen, gue nggak terlalu mikirin tentang kepikunan ini. Sampai pas malemnya temen gue ini ngirim link TikTok ini.

Yah inti yang gue bisa ambil adalah, seringnya kehilangan memori yang gue alami karena bagian otak gue yang dulu biasa dipakai untuk belajar sekarang menjadi mengecil dan tidak terlatih. Kenapa bisa kayak gini? Karena semakin tua kita pasti punya kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari demi kenyamanan. Dulu, pas kita masih sekolah atau kuliah, pasti kita "dipaksa" untuk belajar hal-hal baru sehingga bagian otak kita itu terus kepake. Sekarang karena udah kerja, ya ngapain gue melakukan hal-hal yang nggak mau gue lakuin, istilahnya begitu. Tapi ternyata ini tidak baik, ya akibatnya itu tadi jadi sering pikun karena otak kita nggak lagi di-challenge. 

Maka dari itu, gue memutuskan untuk pergi ke Museum Macan untuk melihat instalasi Ghost Nets: Awakening the Drifting Giants. Pameran ini bekerjasama dengan Kedutaan Australian dan dibuat oleh Erub Arts. Karena lagi gratis dan gue tinggal book tiketnya dan dateng aja.

Satu hal lagi yang gue mau cerita adalah gue ke sana naik TransJakarta. Udah lama banget gue nggak naik TJ karena emang gue nggak suka naik bis, terutama yang ber-AC (emang norak) karena bikin mual dan pusing. Apalagi jalanan Jakarta yang macetnya afafafdsgfsgwjkhrkjabfkje bikin emosi. Cuma karena gue pergi juga siang jam 2, gue mikir pasti jalanan nggak terlalu padat dan yang naik nggak terlalu banyak.

Oke lah setelah menyelesaikan pekerjaan di pagi hari menjelang siang gue siap-siap untuk berangkat. Sebelumnya gue udah book tiket untuk dateng ke Museum Macan, tapi entah kenapa error terus. Pas ketiga kalinya baru masuk ke e-mail. Gue naik TJ di halte Lebak Bulus yang juga terintegrasi sama MRT lalu turun di halte Kebon Jeruk. Perjalanannya juga nggak terlalu lama kok, gue nyampe Lebak Bulus sekitar jam 3 kurang terus sampe di Kebon Jeruk jam setengah 4. Oiya, untuk pameran ini karena mungkin gratis jadinya jamnya dibagi tiga, gue pilih yang jam 4-6 sore. Karena masih setengah jam lagi, gue agak bingung juga mau ngapain. Alhasil ya duduk aja di halte TJ sambil main HP. Mana tempat duduk di halte kan yang dari metal ya, terus gue pake celana bahan gitu jadinya gue merosot terus wkwkwwk sungguh tidak nyaman. Sampai akhirnya gue pengen pipis dan mampir ke Indomaret deket situ. Tadinya gue mau naik ojol, tapi pas gue liat maps kok deket banget ini kalau naik motor, akhirnya ya gue memutuskan untuk jalan kaki dari Indomaret ke Museum Macan. Untungnya pedestriannya enak dan lebar, jadinya cukup nyaman.

Museum Macan terletak di gedung perkantoran. Gue sempet bingung dan akhirnya nanya ke satpam situ. Pas gue mau menuju ke sana, kesan gue adalah kok banyak banget eskalator 😆😆. Pas sampai, gue cuma disuruh scan tiket yang udah gue book. Gue cukup kaget karena lumayan banyak orang, padahal itu masih jam 4 sore. Tapi kebanyakan yang ke sana kayaknya anak kuliahan sih. Terus ternyata arena pameran yang mau gue lihat cuma sepetak gitu, kecil banget wkwkw. Mana rame pula. Akhirnya gue cuma liat-liat sebentar, ambil foto, dan baca deskripsi sebentar. Justru bagian yang paling menarik adalah tokonya, banyak barang-barang yang gemes banget. Kalau nggak gue tahan mungkin gue udah beli kali.

Sampai sana ternyata masih banyak atribut konsernya SUGA tapi udah nggak terlalu rame karena gue sampe sana juga udah jam 7 malem. Yaudah lah gue muter-muter book window-shopping, walaupun jujur gue cuma bisa muter-muter sekitar 1.5 jam saja karena pinggang gue encok. Gue nggak nemu buku yang pengen banget gue beli, tapi malah beli kayak card game wkwk. Udah deh setelah makan batagor yang adem gue pulang. Gue dateng waktu itu pas hari pertama buka dan surprisingly nggak begitu rame.

Itu lah segelintir petualangan yang gue lakukan pada hari itu yang nggak adventure-adventure amat 😁