Why You Should Read Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence

October 15, 2023

Judulnya bukan review karena emang bukan book review karena nggak punya bukunya 🤣 cuma gue merasa ini buku yang cukup penting untuk dibaca hari gini. 

Awal tau buku ini karena waktu itu lagi dengerin suatu podcast, lalu si pembicaranya bilang: one of the most amazing books in this modern age. Lagian ini in line dengan apa yang sedang gue alami dan cukup menjawab keresahan gue. Tapi nanti bakal dibahas satu-satu.

Sinopsis Dopamine Nation yang gue ambil dari website penulisnya, Anna Lembke MD:

This book is about pleasure. It’s also about pain. Most important, it’s about how to find the delicate balance between the two, and why now more than ever finding balance is essential. We’re living in a time of unprecedented access to high-reward, high-dopamine stimuli: drugs, food, news, gambling, shopping, gaming, texting, sexting, Facebooking, Instagramming, YouTubing, tweeting . . . The increased numbers, variety, and potency is staggering. The smartphone is the modern-day hypodermic needle, delivering digital dopamine 24/7 for a wired generation. As such we’ve all become vulnerable to compulsive overconsumption.

Intinya, buku ini menulis tentang bagaimana keadaan dunia yang sekarang semuanya serba mudah diakses atau didapatkan, kita bisa terus-terusan mencari kesenangan-kesenangan. Kalau nggak di stop atau seenggaknya dicari keseimbangan, bisa bahaya. 

Tapi sebelumnya mari berkenalan sedikit dengan dopamin yang terdengar cukup familiar tapi mungkin belum terlalu paham sebenernya ini apa. Diambil dari HaloDoc:

Dopamin adalah zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam memengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang. Kekurangan atau kelebihan zat kimia tersebut bisa menyebabkan gangguan kesehatan.

Balik lagi ke sinopsis Dopamine Nation yang menyebut "pleasure or pain". Menurut Dr. Anna Lembke, sang penulis yang juga seorang psikiater, sensasi kesenangan dan rasa sakit itu di dalam otak kita letaknya berdekatan, dan si dopamin ini yang mengaktifkannya.  

Dr. Anna Lembke sendiri adalah seorang profesor psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford dan kepala dari Stanford Addiction Medicine Dual Diagnosis Clinic (Klinik Diagnosis Ganda Pengobatan Ketergantungan Stanford). Jadi yang nulis bukan orang sotoy dan beliau sendiri sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam menangani kasus addiction atau kecanduan. 

Walaupun gue belum baca secara menyeluruh (baru free samplenya aja di Google Books), tapi gue sudah bisa menangkap secara garis besar buku ini tentang apa karena gue dengerin wawancaranya juga. Yaitu bagaimana kita tau kalau kita lagi kecanduan dan bagaimana cara kita menghentikannya. Satu hal yang menarik adalah, Dr. Anna juga salah satu orang yang pernah kecanduan, cuma kecanduannya baca buku romance and fantasy. Bahkan dia bilang, saking kecanduannya dia pernah nyuri kesempatan baca novel di Kindle pas lagi sesi terapi sama pasiennya. Jadi semua orang punya tendensi kecanduan, bahkan orang yang pinter sekalipun, walaupun memang ada faktor-faktor pendukung lainnya yang bisa memengaruhi tingkat kecanduan itu sendiri kayak genetik, keluarga, atau lingkungan sekitar. 


Buku ini dibuka dengan cerita salah satu pasiennya yang bernama Jacob, seorang scientist yang kecanduan masturbasi sampe-sampe bikin mesin masturbasi sendiri. Gue nggak akan cerita detailnya, pokoknya wadidaw 😱. Tapi kasian juga, dia sampe suicidal dan cerai sama istrinya, oh dan dia umurnya udah 60an. Jadi bisa dibilang Pak Jacob menderita kecanduan masturbasi seumur hidupnya.

Balik lagi ke masalah keresahan gue, bukan soal masturbasi tapi. Waktu itu gue nonton di bioskop dan sumpah sepanjang film ada aja orang buka handphone, dan gue rasa mereka bukan buka sesuatu yang urgent, tapi buka sosmed. Kenapa gue tau? Ya karena keliatan. Seminim apapun lampu layar, tetep keliatan dan sangat nge-distract. Kayaknya sih mereka bosen, karena ada beberapa bagian di film tersebut yang memang pace-nya agak lambat. Tapi ya nggak berkali-kali dong jamblang, dan itu nggak cuma satu orang, tapi beberapa. Masa iya nggak bisa gitu nggak liat handphone barang satu setengah jam? Segitu kecanduannya kah kita sama handphone? Lalu dari sini gue berkaca, bahwa sebenernya gue juga sama aja.

Sekarang, Dr. Anna bilang bahwa we choose our own drugs. Nggak harus seekstrem kecanduan narkoba atau substance, tapi bisa terhadap barang (handphone, mobil, makanan/minuman), perilaku (online shopping, judi, kerja/produktivitas), bahkan ke orang. Yes betul kita bisa kecanduan sama orang. Karena dunia saat ini dipenuhi dengan kepuasan-kepuasan yang nggak terhingga, jadi yang belum kecanduan katanya tinggal tunggu tanggal mainnya.

Gue sendiri jadi mikir, setiap hari pasti megang hape setidaknya 3 jam, entah buka sosmed atau main game. Kalau nggak buka rasanya gatel dan kayak ada yang hilang. Bahkan sampe jempol gue keram dan lunglai aja gue masih ngerasa kurang dan tetep maunya megang hape.  

Cuma sekarang gue lagi mengurangi, kalau lagi buka Instagram, gue deactivate Twitter, begitu pula sebaliknya. Kadang malah gue deactivate Instagram dan Twitter. Untuk TikTok tetep ada karena berhubungan sama kerjaan. Dan sebisa mungkin nggak buka handphone walau tetap buka laptop wkwkw setidaknya kalau buka laptop lebih banyak inspirasi yang mengalir.

Lalu bagemana kita tahu kalau kita lagi kecanduan tapi nggak sadar? Ketika hari-hari kita mulai keganggu. Misal gue harusnya olahraga, beres-beres, atau baca buku, tapi ujung-ujungnya malah cuma main hape seharian. We know we shouldn't be doing this, but we can't help ourselves. Atau yang cukup marak adalah kecanduan judi online, yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi seringkali orang lain. Tapi ternyata problem solvingnya memang tidak mudah karena ada hubungannya juga dengan sistem biologis di otak kita. 

Gue juga kayaknya sempet sedikit kecanduan order makanan online deh. Jadi bukan ke makanannya, tapi lebih ke proses milih-milih makanan dan menunggu si makanan itu datang. Sebelas duabelas sama online shopping kan, sensasi unboxingnya itu yang kita seneng, padahal mah udah tau juga beli apa. Pernah suatu ketika maag gue kambuh atau gue lagi sakit gue malah bersyukur, hikmahnya gue nggak nafsu makan apa-apa jadinya nggak bakal jajan 😭

Ngomongin soal proses, kembali ke permasalahan orang buka handphone pas nonton bioskop. Menonton film itu kan juga proses, yang biasanya terdiri dari awalan, konflik, penyelesaian masalah hingga akhir/klimaks. Ini semua seharusnya kita tonton secara khidmat, cuma sepertinya banyak orang yang nggak sabar. Jadinya ya itu tadi, karena bosan, dopamin di otak kita berada di wilayah "pain" dan kita mungkin secara otomatis mencari "pleasure", bisa jadi buka handphone juga nggak sadar tiba-tiba udah megang aja gitu.  

Padahal semuanya butuh proses, mungkin ini juga yang udah dilupakan sama banyak orang di era yang serba cepat ini (do I sound ancient by saying this though? But whotevurrr). SEMUA ITU BUTUH PROSES. Lihat aja tumbuh kembang anak, dari lahir sampe sesimpel buka mata atau bisa tengkurep aja ada prosesnya. Bayangin kalau abis bayi lahir tiba-tiba dia minta jajan di warung Madura, apa nggak ngeri. 

Karena sekarang kebanyakan hal didesain untuk memenuhi preferensi kita, a slight discomfort or inconvenience akan membuat kita kesel bukan main atau keganggu. Padahal bisa jadi itu adalah sebuah proses yang harus kita jalani biar jadi lebih baik atau membantu kita grow as a person (ngetik sambil ngaca), tapi kita terlalu nggak sabar untuk melewati itu, maunya ke bagian akhir aja.  

Namun tentunya, cara untuk menghentikan kecanduan itu sendiri nggak bisa instan dan harus pelan-pelan. Dr. Anna punya metode 30 hari, yaitu bener-bener menghilangkan sepenuhnya kontak kita sama hal yang bikin kita kecanduan. Gue juga belum terlalu paham sih ini gimana konsepnya, soalnya kalau di otak gue, gue membayangkan cuma bisa diterapkan sama yang kecanduan narkoba, alkohol, atau makanan. Kalau misalnya ada yang kecanduan kerja, masa nggak kerja sama sekali selama sebulan? Entahlah, memang harus baca bukunya dulu kayaknya. Meskipun dapet mixed reviews di Goodreads (3.9 / 5), justru ini gue malah makin penasaran sama bukunya. Memang reviewers di Goodreads jauh lebih kritis sih, kalau di Amazon dapet rating 4.5 / 5. 

Segitu dulu saja misuh-misuh post dari saya kali ini, mungkin akan menulis book review untuk Dopamine Nation kalau sudah beli, itu pun kalau tidak mager 😌



Sumber foto:

Dopamine Nation & Dr. Anna Lembke


You Might Also Like

0 comments